Minggu, 05 Oktober 2014

Teratai di Pulau Nami


Tengsoe Tjahjono

TERATAI DI PULAU NAMI

 

memandang teratai, memandang danau dengan riuh hutan

yang menenggelam tanpa meninggalkan bayang-bayang

"Ia tak kenal musim," bisikmu. ia hanya tahu angin yang berhembus

kadang panas kadang sejuk kadang kering kadang basah

kadang menandai bangku dengan air mata

yang terguling di penampang teratai, entah pada mahkota bunga

atau pada luas daun yang biru

 

memandang teratai, merasakan sepi yang abadi

seperti Nami yang hanya memiliki satu dermaga dan

satu kisah yang sengaja dicipta, lalu dijual

"Lihatlah, orang berbondong datang membawa tanya

di setiap tas dan hatinya." Tidakkah mereka pula bertanya

tentang teratai yang tak mengenal musim, juga bangku-bangku

yang dihiasi air mata dan percakapan sementara

 

memandang teratai, lemah dan perkasa bersanding di bawah

langit jelita, dikemul air yang senantiasa setia. Isyarat-isyarat itu

mendesir dalam jantung, dikurung teka-teki cuaca

" Tangkainya bergoyang memanggilmu. Mendekatlah."

Pasti telah kamu dengar bisikannya. Pasti kamu mengingatnya.

Untuk yang tak abadi.

 

Seoul 27 Agustus 2014