Tengsoe Tjahjono
TERATAI DI PULAU
NAMI
memandang teratai, memandang danau dengan riuh hutan
yang menenggelam tanpa meninggalkan bayang-bayang
"Ia tak kenal musim," bisikmu. ia hanya tahu
angin yang berhembus
kadang panas kadang sejuk kadang kering kadang basah
kadang menandai bangku dengan air mata
yang terguling di penampang teratai, entah pada mahkota
bunga
atau pada luas daun yang biru
memandang teratai, merasakan sepi yang abadi
seperti Nami yang hanya memiliki satu dermaga dan
satu kisah yang sengaja dicipta, lalu dijual
"Lihatlah, orang berbondong datang membawa tanya
di setiap tas dan hatinya." Tidakkah mereka pula bertanya
tentang teratai yang tak mengenal musim, juga
bangku-bangku
yang dihiasi air mata dan percakapan sementara
memandang teratai, lemah dan perkasa bersanding di bawah
langit jelita, dikemul air yang senantiasa setia.
Isyarat-isyarat itu
mendesir dalam jantung, dikurung teka-teki cuaca
" Tangkainya bergoyang memanggilmu. Mendekatlah."
Pasti telah kamu dengar bisikannya. Pasti kamu
mengingatnya.
Untuk yang tak abadi.